Dalam tradisi Bima, upacara memegang peranan menentukan. Upacara sudah
mentradisi sejak Bima kuno terutama mewarisi tradisi Hindu di masa
lampau. Ketika Islam menjadi agama Kerajaan Bima, upacara menjadi alat
dakwah. Sebut saja Upacara U’a Pua, yang mempunyai nilai syiar yang luar
biasa.
Dalam Masyarakat Donggo dulu, upacara umumnya bernilai sakral. Misalnya
upacara persembahan kepada dewa. Mereka mengorbankan binatang seperti
kerbau. Namun upacara animis tersebut sudah ditinggalkan seiring dengan
kian menguatnya pengaruh Islam dalam kehidupan mereka.
Dalam tulisan ini, akan dikemukakan secara singkat beberapa upacara
seperti pernikahan dan khitanan, antara lain dikutip dan diadaptasi dari
Buku “Dou (Manusia) Dompu”, edisi perdana 2001.
Pernikahan Adat Bima
Pernikahan atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku.
Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana
pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon
mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua.
Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan makan
calon dianggap tidak sopan. Untuk itu harus dihukum dengan menolaknya
menjadi menantu. Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena
ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan
tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama
calon mertua untuk mengabdi di sana.
Panati atau Dou Sodi
Dalam tradisi Bima, Panati menjadi pintu gerbang menuju ke jenjang pernikahan. Panati adalah melamar atau meminang perempuan. Panati diawali dengan datangnya utusan pihak laki-laki ke orang tua perempuan. Utusan datang untuk menanyakan apakah sang gadis sudah memiliki kumbang atau calon suami. Bila memperoleh jawaban bahwa sang perempuan berstatus bebas, kembali dilakukan pendekatan untuk mengetahui apakah perempuan itu dapat dilamar. Jika lamaran itu diterima oleh pihak perempuan, si pria melakukan apa yang disebut wi’i nggahi. Pada hari yang ditetapkan, pertunangan diresmikan dalam Upacara Pita Nggahi.
Upacara melamar atau meminang dalam bahasa daerah disebut panati. Orang
yang diutus untuk melakukan pinangan disebut Ompu Panati. Bila pinangan
itu diterima, resmilah kedua remaja berada dalam ikatan pacaran. Satu
dengan yang lain disebut dou sodi (dou artinya orang,sodi artinya tanya,
maksudnya orang yang sudah ditanya isi hatinya dan sepakat untuk
dinikahkan). Karena sudah saling diikat, yang seorang sudah menjadi dou
sodi yang lain, kedua remaja itu tak bebas lagi untuk mencari pacar lain
(Khaerul Muslim, 2001). Jika kedua remaja itu sudah mengikat janji,
biasanya perempuan meminta sang pria agar mengirim orang tuanya.
Biasanya sodi angitidak berlangsung lama melainkan langsung diikuti
dengan melamar sang gadis. Tujuannya, antara lain, untuk menghindari
fitnah dan hal-hal lain yang tidak terpuji.
Ngge’e Nuru :
Ngge’e nuru maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua.
Ngge’e artinya tinggal, nuru artinya ikut. Pria sudah diterima
lamarannya, bila kedua belah pihak menghendaki, sang pria diperkenankan
tinggal bersama calon mertua di rumah calon mertua. Dia akan menanti
bulan baik dan hari baik untuk melaksanakan upacara
pernikahan. Datangnya sang pria untuk tinggal di rumah calon mertua
inilah yang disebut dengan Ngge’e Nuru. Selama terjadinya ngge’e nuru,
sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang
baik kepada calon mertuanya. Bila selama ngge’e nuru ini sang pria
memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang tidak sopan,
malas dan sebagainya, atau tak pernah melakukan shalat, lamaran bisa
dibatalkan secara sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti ikatan
sodi angi diantara dua remaja tadi putus. Tujuan utama ngge’e nuru ini
adalah proses adaptasi antara sang pria dengan kehidupan calom mertua.
Selama ngge’e nuru, pria tidak diperkenankan bergaul bebas dengan
perempuan calon istrinya.
Wa’a Coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya upacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya. Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
M b o l o W e k i
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian. Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik, bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya.
Teka Ra Ne’e :
Teka ra ne’e ke keluarga yang melaksanakan hajatan merupakan kebiasaan
di kalangan masyarakat Bima. Teka ra ne’e berupa pemberian bantuan pada
keluarga yang mengawinkan putra putrinya. Bila upacara teka ra ne’e
dimulai, berduyun-duyunlah masyarakat (umumnya kaum wanita) datang ke
rumah keluarga tuan rumah membawa uang, bahan pakaian dan
sebagainya. Selama acara pernikahan digelar keramaian seperti malam
hadrah atau biola semalam suntuk. Ada pula olahraga seperti Guntaw atau
tarian seperti Buja Kadanda.
Jambuta :
Ada sebuah acara yang menjadi bagian dari prosesi perkawinan yaitu
jambuta. Semula acara ini hanya berlaku di kalangan etnis Arab, namun
akhirnya menjadi bagian dari tradisi Bima maupun Orang Melayu. Jambuta
hampir sama tujuannya dengan Teka ra ne’e namun pelaksanaannya cukup
satu hari. Sedang Teka ra ne’e berkisar antara dua hingga tiga hari.
K A P A N C A
Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum calon penganti wanita dinikahkan. Setiba di uma ruka, calon pengantin wanita akan melaksanakan acar adat yang disebut kapanca, yaitu acara penempelan kapanca (inai) di atas telapak tangan calon pengantin wanita. Dilakukan secara bergiliran oleh ibu-ibu pemuka adat.
Kapancamerupakan peringatan bagi si calon pengantin wanita bahwa dalam
waktu yang tak lama lagi akan melakukan tugas sebagai istri atau ibu
rumah tangga. Seiring dengan kegiatan kapanca, akan disuguhkan juga
sejenis kesenian rakyat yang bernafaskan ajaran Islam yang disebut Ziki
Kapanca yang dilakukan oleh para undangan. Mereka akan membawakan syair
bernuansa Islam yang liriknya berisi pujian dan sanjungan pada Allah dan
Rasul. Usai Ziki Kapanca dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian dan
musik Mbojo Bima semalam suntuk.
A k a d N i k a h
Akad nikah merupakan puncak acara. Sebelum akad berlangsung, malamnya dilakukan upacara kapanca (memberi atau menghias daun pacar yang digiling halus pada jari-jari tangan dan kaki pengantin). Acara ini disebut londo dende, dimana pengantin pria diantar ramai-ramai oleh keluarga dan handai taulan dengan diiringi kesenian hadrah ke tempat pengantin wanita. Pengantin pria mengenakan pakaian adat pengantin. Kadang-kadang kedua pengantin diarak bersama-sama menuju tempat upacara. Seringkali pula hanya pengantin pria yang diarak. Pengantin wanita cukup menunggu di tempat upacara.
Di tempat pengantin wanita dipersiapkan berpakaian adat pengantin dan
duduk di atas pelaminan yang dihias ornamen-ornamen tradisional.
Duduknya di bawah (di atas kasur berhias) dengan bersimpuh menurut adat
(doho tuku tatu’u). Ia didampingi seorang inang pengasuh dan dua remaja
putri dari keluarga dekat yang bertugas mengipas, selain itu duduk pula
dua orang laki-laki atau perempuan yang membawa alat penginang.
Di muka pelaminan duduk berbaris berhadap-hadapan putri-putri remaja
yang membawa lilin berhias. Di belakang dan di samping mereka duduk para
tamu ibu-ibu dan bapak-bapak. Orang tua pengantin wanita duduk di
sebelah pelaminan. Ruangan tersebut dibatasi dengan tirai adat yang
disebut Dindi Ra-Lara berwarna-warni. Biasanya dipakai warna merah,
hijau, kuning dan putih.
Saat pengantin dan rombongan naik atau masuk ke ruangan, mereka berhenti
di depan tirai. Terjadilah semacam dialog pendek antara pengantar
(bapak-bapak) pengantin pria dengan penjaga tirai (bapak-bapak) pihak
wanita. Setelah diserahkan uang pelumas dan sirih pinang, barulah tirai
dibuka oleh ibu-ibu dari pihak wanita dari dalam tirai dan disambung
dengan taburan beras kuning.
Masuklah pengantin pria dengan dikawal dua orang bapak atau ibu yang
berhenti di depan pelaminan. Pengantin pria melangkah naik ke pelaminan
dan menancapkan setangkai kembang ke atas gelung penganting wanita yang
duduk membelakangi. Pengantin wanita mencabut kembangnya dan membuangnya
(ini dilakukan tiga kali). Acara ini disebut nenggu. Setelah neggu,
pengantin wanita berbalik dan sama-sama duduk berhadapan kemudian
pengantin wanita sujud atau salaman dengan pengantin pria. Selanjutnya
mereka duduk bersanding untuk disaksikan oleh undangan dan handai
taulan.
Pada acara ini seluruh masyarakat, pemuka agama, laki prempuan diundang
untuk menyaksikan dan memberi do’a restu. Pelaksanaan upacara ini
bermacam-macam. Kadang-kadang hanya dengan selamat biasa yang biasa
disebut do’a jama. Kadang-kadang dengan pesta yang cukup meriah dengan
diiringi orkes atau band. Dengan disaksikan oleh seluruh tamu, dihadapan
petugas agama, saksi khusus, pengantin pria duduk berhadapan dengan
calon mertuanya, berpegangan tangan dalam posisi dua ibu jari kanan
mereka saling dirapatkan. Dalam posisi demikian, diadakanlah akad nikah
atau ijab kabul yang dalam bahasa daerah disebut lafa. Akad nikah atau
ijab kabul atau lafa harus didahului dengan mengucapkan kalimat syahadat
yang diucapkan oleh calon mertua atau wali dengan diikuti oleh mempelai
pria.
Selesai mengucapkan akad nikah, resmilah si pria menjadi suami si
wanita. Proses selanjutnya adalah mengantar pengantin laki-laki menuju
tempat duduk pengantin wanita dengan diantar oleh penghulu atau siapa
saja yang ada di sekitar itu untuk melakukan upacara caka(jengkal) yaitu
ibu jari kanan pengantin pria diletakkan di atas ubun-ubun pengantin
wanita yang disusul dengan saling berjabat tangan antar kedua pengantin
yang selanjutnya mereka duduk bersanding.Caka dimaksudkan sebagai
pertanda permulaan sang suami menyentuh istrinya dan mulai saat itu
mereka sudah halal untuk bergaul sebagai suami istri.
Boho Oi Ndeu
Boho oi ndeu adalah mandi sebagai pertanda ucapan selamat tinggal atas
masa remaja. Boho oi ndeu ini dilakukan sehari setelah akad nikah,
dilangsungkan tapi sebelum pengantin bergaul sebagai suami istri. Pada
upacara ini kedua pengantin duduk bersama pada tempat tertentu yang
telah disediakan. Kemudian dari atas kepalanya oleh dukun dituangkan air
yang sudah disiapkan dalam periuk tanah yang baru (roa bou; roa artinya
periuk; bou berarti baru). Leher periuk dilingkari dengan segulung
benang putih. Boho oi ndeu biasanya dilakukan pagi hari yang disusul
dengan do’a selamatan pada sore harinya. Kedua pengantin duduk
berdampingan, menduduki suatu alat tenun yang disebut lira, sedangkan
badan mereka dililit dengan untaian benang tenun dari kapas putih
sebagai lambang ikatan suci kemudian dilakukan siraman dengan air
wangi-wangian. Inilah akhir dari upacara nika ra neku.
Acara mandi untuk calon pengantin wanita dilakukan juga sebelum upacara
perkawinan, yakni pada pagi hari sebelum acara kapanca. Mandi ini
disebut boho oi mbaru yang artinya memandikan atau menghapus masa
kegadisan bagi calon pengantin wanita. Setelah mandi dilanjutkan dengan
boru atau cukuran yaitu mencukur dahi calon mempelai wanita menurut
bentuk dandanan yang diperlukan.
Pada hari ketiga, pengantin wanita diboyong ke rumah pengantin pria
dalam acara yang disebut lao keka. Di tempat pengantin pria, diadakan
acara pamaco, dimana kedua pengantin diperkenalkan pada para undangan
yang satu per satu menyampaikan sumbangan, entah uang atau barang,
bahkan secara simbolis menyerahkan seuntai tali apabila hadiahnya hanya
merupakan seekor kerbau.
Mpaa Gantao
Mpa’a Gantao adalah salah satu tarian rakyat yang telah tumbuh sejak
zaman kesultanan Bima. Atraksi keseniaan ini diperkirakan ada sejak masa
pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin( 1648-1685).Atraksi kesenian
ini cukup popular bagi masyarakat Bima, karena hingga saat ini masih
tetap eksis dan dipertunjukkan dalam berbagai acara dan hajatan baik di
lingkup Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Biasanya Gantao
dipertunjukkan pada acara hajatan pernikahan maupun sunatan.
Mpa’a Gantao dimainkan oleh dua orang penari, ragam geraknya sama dengan
ragam gerak silat, tetapi dimainkan dalam irama gerak yang cepat,
begitu pula musik pengiringnya tidak jauh berbeda dengan irama musik
Mpa’a sila(Silat), hanya iramanya lebih cepat. Alat music pengiringnya
adalah dua buah gendang, Tawa-Tawa, Gong serta alunan Serunai Khas Mbojo
yang disebut “ Sarone”. Dalam satu group Gantao terdiri dari lima orang
pemain music dan 2 orang pemain Gantao.
Atraksi ini tergolong masih tetap eksis keberadaannya hingga saat ini.
Meskipun hanya beberapa sanggar seni saja yang tetap menekuninya.
Persoalan mendasar yang dihadapi para seniman adalah minimnya pembinaan
dan bantuan peralatan serta kostum. Disamping itu, proses regenerasinya
sangat lamban. Peniup Sarone saja semakin langka, aplagi penabuh
gendang. Diperlukan pembinaan dan proses regenerasi untuk mengajak para
pemuda bergelut di seni budaya tradisional Mbojo dalam rangka upaya
pelestariannya.
Kareku Kandei
Kareku Kandei atau memukul lesung dengan berbagai ragam ritme dan irama
adalah sebuah tradisi unik masyarakat Bima yang telah berlangsung sejak
zaman dulu. Atraksi ini biasa dilakukan oleh kaum perempuan terutama
setelah selesai menumbuk padi secara bersama-sama. Hal ini dilakukan
sebagai hiburan dan pelepas lelah setelah menumbuk padi dan
membersihkannya hingga menjadi beras.
Atraksi ini biasa dilakukan pada sore hari atau malam hari. Disamping
itu, Kareku Kandei juga dilaksanakan pada saat Gerhana Matahari atau
Gerhana Bulan diiringi bunyi kentongan sebagai pertanda bahwa Gerhana
sedang terjadi.
Atraksi unik ini dimainkan oleh sekitar 4 sampai 6 orang perempuan
dengan menggunakan Alu yang dalam Bahasa Bima disebut Aru. Alu atau Aru
terbuat dari Kayu seperti Kayu Nangka, kadang juga terbuat dari Bambu.
Sedangkan Lesung terbuat dari berbagai jenis kayu, tapi yang sering
dijumpai adalah pembuatan Lesung (Kandei ) dari jenis Kayu Nangka.
Karena Jenis Kayu ini dinilai sangat bagus dan menggema suaranya. Pada
Zaman dulu, Kareku Kandei juga diringi senandung E Aule dan iringan
Biola serta Gambo( Gambus) yang dilaksanakan terutama saat-saat panen
padi dan sebagai ajang berkumpulnya muda mudi untuk bersyair, berpantun
dan bersenandung.
Seiring perkembangan zaman dn tehnologi modern saat ini sudah tidak
terdengar lagi alunan suara dari Kareku Kandei. Prosesi menumbuk padi
sudah tergantikan dengan penggilingan padi yang tersebar di seluruh
pelosok. Kini Lesung, Alu serta Antan sudah dimuseumkan oleh warga.
Alat-alat tradisonal ini juga sudah banyak yang lapuk termakan usia
karena tidak terawat dan disimpan begitu saja di kolong-kolong rumah.
Namun ada juga kreasi-kreasi dari generasi muda serta beberapa elemen
masyarakat untuk melestarikan tradisi ini. Kandei(Lesung) menjadi salah
satu alat musik tradisonal dalam bentuk kolaborasi musik yang
menghasilkan harmonisasi musik tradisional moderen. Ada juga seniman
yang ingin menggelar Festival Lesung ini. Bahkan setiap hari jadi Bima
Pemerintah Kabupaten Bima menggelar lomba Kareku Kandei.
Kareku Kandei sebagai sebuah tradisi warisan lelulur dan atraksi seni
yang memukai harus terus dipertahankan karena merupakan bagian dari
keunikan dan romantika Bima tercinta…..
Hanta Ua Pua
Seperti dua sisi mata uang. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan.
Demikianlah keterkaitan antara sejarah masukunya Agama Islam di tanah
Bima dengan Upacara U’a Pua. Tanpa mengetahui seluk beluk kilas balik
serta pasang surut sejarah masuk dan berekmbangnya Islam di Bima,
tidaklah mungkin kita dapat mengetahui secara utuh proses dan sejarah
lahirnya upacara adat U’a Pua. Oleh karena itu, ada baiknya kita
bernostalgia dengan sejarah masuknya Islam di Bima yang menjadi tonggak
dan babak baru perubahan sistim pemerintahan dari kerajaan kepada
Kesultanan.
Adapun tujuan utama dari perayaan U’a Pua sebagai berikut :
- Untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
- Untuk mengenang kembali sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima dan sekaligus sebagai wahana penghormatan atas jasa-jasa para penghulu Melayu beserta seluruh kaum keluarga yang telah menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.
- Meningkatkan pemahaman dan pengamalan Ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Alqur’an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bima dan ditunjukan dengan penyerahan Kitab Suci Alqur’an kepada Sultan sebagai pemimpin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan seluruh rakyat.
Hanta U’a Pua merupakan salah satu Upacacara Adat Spektakuler yang telah
digelar turun temurun pada masa lalu, terutama pada masa-masa keemasan
dan kejayaan kesultanan Bima. Upacara Adat yang erat kaitannya dengan
sejarah masuk Agama Islam di Tanah Bima ini, te;ah menjadi rutinitas
seluruh elemen masyarakat Bima sejak dekade awal masuknya Islam. UA PUA
dilaksankan pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan Peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW setiap tahun.
Ua Pua dalam bahasa melayu disebut” Sirih Puan” adalah satu rumpun
tangkai bunga telur berwarna warni yang dimasukkan ke dalam satu wadah
segi empat. Jumlah bunga telur tersebut berjumlah 99(Sembilan Puluh
Sembilan) tangkai yang sesuai dengan Nama Asma’ul Husna. Kemudian di
tengah-tengahnya ada sebuah Kitab Suci Alqur’an.
Ua Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai(Bima: Uma
Lige) yang berbentuk segi empat berukuran 4×4 M2. Bentuk Uma Lige ini
terbuka dari ke empat sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para
penari lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis, dan penari
lenggo melayu yang terdiri dari empat orang perjaka, beserta para
penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh
seluruh mayarakat sepanjang jalan.
Uma Lige tersebut diusung oleh 44 orang pria yang berbadan kekar sebagai
simbol dari keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut 44 jenis
keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur
Pemerintahan kesultanan Bima. Mereka melakukan start dari kampung melayu
menuju Istana Bima untuk diterima oleh Sultan Bima dengan Amanah yang
harus dikerjakan bersama yaitu memegang teguh ajaran Islam.
Pada masa lalu, sebelum Upacara Adat U’a Pua dilaksanakan sebagai puncak
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, diawali oleh kegiatan-kegiatan
atraksi seni Budaya Tradisional dan pengajian Alqur’an selama tujuh
hari, tujuh malam. Seluruh seniman dan Pendekar dari berbagai pelosok
desa dalam wilayah kesultanan Bima berkumpul di lapangan Sera Suba untuk
mempertunjukan kehebatannya. Dan pada puncak peringatan Maulid, Hanta
U’a Pua pun digelar. Diawali pemukulan Ranca Na’e pada pukul 6 pagi dari
loteng Gerbang Istana(Lare-Lare Asi). Hal tersebut dimkasudkan sebagai
permakluman bahwa hari upacara adat telah tiba. Kemudian pada sekitar
pukul 7 pagi utusan sultan yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, Anggota
Laskar kesultanan, bersama penari lenggo Mbojo menjemput penghulu melayu
di kediamannya, Kampung Melayu.
Sekitar pukul 8 pagi, rombongan penghulu melayu berangkat dari kampung
melayu menuju Istana Bima. Keberangkatan rombongan tersebut ditandai
dengan dentuman meriam. Adapun rombongan yang menyertai para penghulu
melayu secara berurutan antara lain adalah Pasukan Jara Wera sebagai
pengawal pembuka jalan, diikuti oleh pasukan Jara Sara’u dengan hentakan
kaki kuda yang khas dan kuda pilihan, Anggota Laskar Suba Na’e dan
Penari Sere, Pasukan Pengusung Uma Lige(Mahligai), dan terkahir diikuti
oleh rombongan Pemuka Adat Dana Mbojo.
Ketika Penghulu Melayu beserta rombongan tiba di Istana Bima disambut
pula dengan dentuman meriam dan berbagai atraksi serta tarian
tradisional seperti tari kanja, tari sere,Gentaong dan dilanjutkan
dengan Mihu yaitu pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima sekaligus
memulai upacara penyerahan U’a Pua yang berisi Kitab Suci Alqur’an.
Setelah U’a Pua diserahkan, penghulu melayu dan sultan duduk
berdampingan sambil menyaksikan Tari Lenggo U’a Pua sebagai lambang
keharmonisan hubungan dan simbol kesamaan Visi dan Misi masyarakat Mbojo
dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Kemudian dibagian
akhir Upacara ditandai dengan pembagian 99 tangkai bunga telur sebagai
simbol Asma’ul Husna(99 sifat allah) kepada seluruh hadirin.
Posting Komentar