UPACARA ADAT DI DOMPU


Nenek saya, 80 tahun, paling suka bercerita tentang kehidupan masa lalunya kepada kami para cucunya. Menyimak cerita-cerita tersebut tak ubahnya ‘melahap’ kuliah tentang moral, kearifan, falsafah hidup serta pelajaran akan kekayaan khasanah seni dan budaya masyarakat Mbojo. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah upacara adat. Tersedot ke masa lalu melalui ‘lorong waktu’ ciptaan nenek menjadikan saya teringat kembali akan kehidupan masa kecil saya, masa dimana segala kearifan dan pesan sesepuh masih dipatuhi, walaupun ingatan tersebut samar-samar. Dipatuhi di sini maksudnya masyarakat masih menjalankan berbagai hal, termasuk prosesi upacara adat, berdasarkan aturan baku sejak masa nenek moyang. Satu hal lagi yang menggelitik pikiran saya adalah, “Masihkah masyarakat Dompu ‘patuh’ pada nenek moyangnya kini?. Sebelum menjawabnya, saya ajak kawan-kawan pembaca ke masa dua dekade yang lalu. Yuk, mareee!!!
Upacara adat Dou Mbojo dilakukan untuk berbagai hal, secara umum tujuannya sama saja dengan masyarakat etnik lainnya di Indonesia yang beragama Islam. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara pernikahan, sunatan, kematian, syukuran, penyambutan kelahiran dan lain sebagainya. Upacara pernikahan misalnya, dapat berlangsung berhari-hari dengan rangkaian acara yang banyak, baik diadakan oleh pihak laki-laki ataupun perempuan. Rangkaian acaranya antara lain Panati, Mbolo Weki, Kapanca, Wa’a Co’i, Jambuta Teka ra Ne’e dan Akad Nikah. Pernikahan merupakan fase yang sangat  menentukan bagi masa depan seseorang, oleh karenya acara dilakukan secara meriah, dengan adanya partisipasi dari seluruh sanak famili, karib kerabat maupun warga sekitar, baik secara materil maupun non materil. Upacara penyunatan dan khitanan memiliki ceritanya sendiri, terdiri dari serangkaian acara yakni Mbolo ro Dampa, Kapanca, Compo Baju, Compo Sampari, Suna ro Saraso dan khataman Al-Qur’an. Pada malam hari selama upacara berlangsung, khususnya malam setelah Kapanca, diadakan pesta rakyat seperti permainan musik  tradisional, olahraga seperti Gantau dll. Pada saat pesta rakyat inilah biasanya ada yang kemasukan roh halus.  Ungkapan rasa syukur, suka cita, penyambutan bahkan ungkapan duka cita, semua ada upacaranya. Mengenai detail dari setiap upacara tidak saya bahas di sini, karena memang bukan itulah yang menjadi focus tulisan, intinya secara umum prosesi-prosesi di berbagai upacara adat berlandaskan pada kepercayaan yang dianut masyarakat setempat, terdapat pula banyak pelajaran moral dan muatan filosofi yang dapat dijadikan sebagai bekal hidup.
Kita kembali ke masa kini. Upacara-upacara adat masih diadakan secara gotong royong, melibatkan berbagai pihak dalam membantu terwujutnya acara, termasuk bantuan dana. Namun, prosesi upacara tidak seribet dulu, suasananya tidak sesakral dulu, pakaian dan hiburan pengiringnya jelas jauh berbeda, durasinyapun jaaaaauh lebih singkat. Sebagai contoh upacara pernikahan, rangkaian acara tinggal beberapa saja yang masih eksis, misalnya Mbolo Weki, Akad Nikah, ditambah dengan acara baru yang diadopsi dari budaya lain, yakni Resepsi. Mahar bagi mempelai wanita dari sang pria diantarkan sekalian saat Akad Nikah, tidak ada lagi Kapanca, tak ada pula acara Pinangan dengan aksi berbalas pantunnya juga prosesi lainnya. Pakaian yang dikenakan kini bukan baju adat lagi, melainkan baju modern yang berkiblat pada budaya nasional, bahkan internasional, hiburan juga demikian, yang jelas semuanya serba modern. Begitu pula yang terjadi pada upacara Sunatan dan Khitanan, nilai kesakralannya menjadi jauh berkurang apalagi jika diadakan di rumah sakit. Masyarakat kini menjadi lebih kreatif dengan menggabung beberapa upacara sekaligus, misalnya Sunatan dan Perkawinan. Upacara yang dulunya berlangsung lebih dari seminggu kini dapat disederhanakan menjadi hanya sehari. Luar biasa efek kemajuan zaman, kakek saya dulu menempuh perjalanan sebulan untuk tiba di tanah suci, sedangkan orang tua saya tidak sampai sehari sudah berada di sana. Mungkinkah  kemajuan seperti itu jugalah yang menjadikan prosesi upacara adat menjadi sedemikian singkatnya kini?
Zaman memang telah berubah, merubah segalanya yang dulu ribet menjadi semakin efisien dan efektif kini. Pola hidup, cara berpikir, seni dan budaya juga norma-norma yang berlaku di masyarakat telah berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada prosesi upacara adat sebenarnya bukan semata dipengaruhi oleh sesuatu yang diistilahkan dengan “modernisasi”, melainkan juga dilatarbelakangi oleh faktor  lain. Dua faktor yang paling menonjol adalah faktor ekonomi dan agama. Faktor ekonomi, prosesi yang berrupa-rupa serta berdurasi lama dinilai akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena sekarang serba komersil. Hewan ternak dan makanan dulu melimpah, tersedia banyak tanah lapang untuk mengadakan acara, masyarakatnya masih memiliki waktu luang yang banyak untuk membantu mereka yang memiliki hajat, juga untuk menghadiri acara-acaranya.  Dari sudut pandang agama, beberapa prosesi dalam upacara adat, bahkan upacara adat itu sendiri, dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut masyarakat pada umumnya, yakni Islam. Berbagai prosesi dan upacara adat tersebut dinilai sebagai bid’ah, sesuatu yang tidak diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, ada pula yang dipandang sebagai perbuatan syirik dengan adanya keterlibatan arwah-arwah dan sesajen yang disediakan pada prosesi tertentu.
Melihat wajah upacara adat di Dompu kini memang terlihat menyedihkan, terjadi banyak perubahan, masyarakatpun tidak sepatuh dulu lagi pada “undang-undang” yang ditetapkan oleh nenek moyangnya. Dalam hal ini, tidak ada pihak yang benar-benar dapat disalahkan, tidak pemerintah, tokoh agama pun masyarakat Dompu. Meskipun bid’ah atau tidaknya, sejauh mana syiriknya, masih menjadi perdebatan, masalah kepercayaan tetaplah menjadi hal yang absolut. Kita tidak dapat mengabaikan kepercayaan  yang dianut oleh masyarakat hanya karena alasan pelestarian khasanah budaya. Ada beberapa upaya penyelamatan yang dapat dilakukan, masyarakat Dompu dapat mengadakan berbagai upacara adat yang berlaku kini minimal dengan menggunakan pakaian adat, hiburan dengan musik tradisional, tetap mengedepankan kebersamaan. Kreativitas sangat dituntut di sini. Organ tunggal dapat dikolaborasikan dengan instrument tradisional, lagu-lagunya tidak semata modern, melankan juga lagu berbahsa Mbojo. Kebaya sebagai pakaian nasional dapat dipadukan dengan sarung Nggoli atau Songket khas Mbojo saat akad, sedangkan Resepsi pengantin dapat mengenakan baju Bodo. Kondisi memang tidak memungkinkan bagi kita untuk kembali ke masa lalu, tapi setidaknya kita berupaya. Pemerintah dapat berperan dengan caranya sendiri, misalnya dengan mengadakan festival budaya yang mengangkat kembali khasanah budaya, mengupayakan dokumentasi tertulis dari berbagai prosesi dan upacara yang mulai punah tersebut dan masih banyak lagi. Jika masyarakat dan pemerintah sama-sama beraksi, tentunya akan mendorong  pertumbuhan usaha-usaha seperti penyewaan pakaian tradisional serta mendukung kreativitas seniman tradisional. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan pariwisata, karena pariwisata juga menjadikan khasanah kebudayaan sebagai daya tariknya. Kekompakan masyarakat dan pemerintah akan menghasilkan hadiah yang sangat berharga bagi Dompu ke depan.
Share this post :

Posting Komentar

Test Sidebar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INFORMASIH DOMPU - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger